Friday, January 13, 2012

Rintik Hujan di Pantai Selatan [2]

Pada cerita bagian pertama (klik), terjadi pertarungan antara Teja Baskara dengan segerombolan lelaki di dekat sungai Serang. 
"Hentikan" terdengar suara lelaki menggelegar, dan tidak begitu lama muncul sosok yang lelaki hampir paruh baya diatas kudanya yang berwarna coklat tua, dengan kulit sawo matang dan garis wajah yang tegas, serta dihiasi janggut yang tipis. Semua orang yang mengeroyok Teja Baskara minggir dan memberikan jalan kepada lelaki tersebut.

Teja Baskara terkejut memandang lelaki yang menghentikan pukulannya dengan sebuah teriakan menggelegar, ia mengenal sosok laki-laki tersebut, ketika diajak ayahnya ke Mertoyudan. "Assalamu allaikum Ki Ageng"
"Wa Allaikum salam" jawab lelaki tersebut "Apa hubungannya ananda dengan Wirobraja"
"Ki Ageng tahu nama kakek saya" Teja Baskara ganti bertanya
Tampak wajah Ki Ageng berubah "Anak muda, kalau ditanya orang tua itu dijawab dulu, bukan ganti bertanya"
"Maafkan hamba Ki Ageng" jawab Teja Baskara bergetar "Wirobraja adalah kakek hamba yang tinggal di Kedu"
"Hemm"suara Ki Ageng "Kamu ini anak Arya Bagelan, kenapa memacu kuda dari arah Kasultanan dengan tergesa-gesa disaat hujan belum juga reda"
Teja Baskara menceritakan "Keadaan Kasultanan genting, Kanjeng Pangeran marah kepada prajurit kompeni yang masuk ke kraton dan bertindak tidak sopan terhadap para putri disana, dan puncaknya Patih Danurejo dibunuh karena dianggap terlalu dan selalu memihak kompeni"
Ki Ageng tampak terdiam dalam batinya ia mengatakan "sudah saatnya perang besar di tanah jawa akan berkobar dengan dahsyat, Kang Mas Pangeran sudah memberikan isyarat"
"Baskara"panggil Ki Ageng.
Teja Baskara terkejut, ia belum mengenalkan dirinya, tapi Ki Ageng sudah tahu namanya "Ya Ki Ageng"
"Kamu teruskan perjalananmu secepatnya ke Bagelan, jika sudah sampai ceritakan semua kejadian di Kasultanan kepada ayahmu, dan jangan lupa Kertapati di Kebumen juga diberi tahu, semua harus dalam keadaan siap jika Kanjeng Pangeran menghubungi untuk menyusun pasukan di pesisir pantai selatan" ucap Ki Ageng.
Belum sempat Teja Baskara mengiyakan perintah, Ki Ageng tampak menghentakkan tali kudanya ke arah utara, diikuti oleh orang-orang yang bentrok dengannya.
"Bajul...."Teja Baskara memanggil kudanya, dan sang kuda pun mendekati tuannya."Ayo tunjukan otot-ototmu, berlarilah sekencang-kencangnya, pulang ke Bagelan".
Di lain tempat, di sebuah dusun yang bernama Bagelan, tampak sebuah rumah jawa yang terlihat sudah berumur tetapi masih sangat kokoh, disampingnya berdiri sebuah masjid serta dibelakangnya tampak rumah yang lebih besar. Banyak pohon gayam dan jati disekelilingnya. Di ruang depan dari rumah joglo, sesosok lelaki dengan pakaian jawa dengan ikat kepala hitam duduk didampingi seorang wanita muda yang memakai kerudung putih.
"Zaenab" ucap lelaki tersebut
"Ya romo" jawab wanita muda yang dipanggil sebagai Zaenab.
"Kang Mas mu, Teja Baskara sudah dua purnama ini belum pernah pulang ke Bagelan, apa ada tugas penting yang harus dijalankan dari Sinuwun" ucapnya sambil menggeser posisi duduknya.
"Memang tidak biasanya, Kang Mas setiap satu purnama pasti pulang, apalagi hubungannya dengan mbakyu Retno semakin dekat, katanya secepatnya ingin menikah, romo" kata Zaenab sambil menata meja di depan Arya Bagelan.
"Huss, kamu ini, Kang Mas mu itu belum katham ilmunya"
Ketika semilir angin bertiup memasuki rumah tersebut, suara dedaunan yang saling bergesekan menambah suasana tentram di dalam rumah yang juga digunakan sebagai pesantren oleh Arya Bagelan. Para santri yang baru selesai mengurusi ladang dan lahan pertanian pulang melewati pintu gerbang depan dan mengucap salam. Arya Bagelan tampak terdiam, ada satu firasat yang ia dapatkan, sebuah pertanda, warna air laut selatan berubah menjadi merah, ia mengucap istigfar.
"Assalamu allaikum" terdengar suara yang tak asing baginya (bersambung)
   

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.